Tren Bermasker (Saya) dari "Masa ke Masa"


 


Saya sebetulnya bukan wanita type "pesolek". Jangankan gunakan make-up, gunakan lipstik saja tidak. Sebatas membuat garis alis saja pun tidak sempat, ditambah lagi gunakan bulu mata. Paling akhir gunakan make-up ya pada saat saya menikah saja.

Keunikan Ayam Brugo Hias

Saya type wanita yang tidak senang gunakan perhiasan. Jangankan perhiasan berbentuk kalung atau gelang, cincin kawin saja belum pernah saya gunakan. Saya taruh saja di almari.


Saya bukan type wanita yang begitu memerhatikan performa. Saat perempuan-perempuan lain memburu fesyen (sepatu, tas, pakaian) paling baru, saya sich ya biasa saja. Saat lainnya belanja sebab ada harga potongan harga, ya saya sich dingin ayem saja.


Tidak "wanita" sekali kan?


Tetapi...untuk gunakan masker, itu harus! (Eh, menyambung tidak percakapan dari wanita type saya ke masker?). Saya telah lama memakai masker tiap saya ke luar rumah. Jauh sebelum epidemi Covid-19 menghajar negeri ini (serta dunia).


Bukan tanpa ada alasan. Bukan sebab ingin membuat trend (memang siapa saya?). Ada banyak fakta kenapa saya tetap tutup hidung serta mulut.


Pertama, sebab pencemaran udara di Jakarta yang sangat mencemaskan. Saya yang seringkali berjalan kaki dalam memainkan pekerjaan-tugas lapangan saya, harus jadi sering bersinggungan dengan pencemaran, khususnya dari knalpot kendaraan umum.


Ya tahu sendirilah bagaimana situasi kendaraan seperti metro mini serta kopaja yang melangkah di jalanan raya. Telah sering ugal-ugalan, kendaraannya juga tetap "berasap", menyesakkan dada saya. Mengisyaratkan paru-paru protes.


Saya umumnya jadikan hijab untuk penutup hidung serta mulut. Bertepatan saya tetap gunakan hijab panjang, jadi dapat saya belit ke tempat muka saya lalu saya kempit di celah dahi. Ya beda tipislah dengan seragam ninja. Jadi, di antara warna "masker" serta hijab seirama. Suatu hal yang sesuai style saya, yang inginnya harus seirama. Agar nampak matching demikian.


Ke-2, lima tahun kemarin saya sempat sakit radang paru-paru. Walau saya bukan perokok, paru-paru saya terserang dampaknya. Ya banyak unsur sich, bukan lantaran hanya paparan asap rokok atau pencemaran. Karena sebab unsur depresi. Semenjak itu, saya berubah gunakan masker klinis yang saat itu harga seribuan per lembarnya.


Sebab warnanya cuma biru serta hijau, jadi saya harus harus menggunakan pakaian yang ada warna biru atau hijaunya. Atau hijab saya warnanya dapat cocok dengan biru atau hijau. Jika warnanya tidak seirama, seperti sayur tanpa ada garam. Saya berasa cemplang. Rasa-rasanya aneh demikian.


Postingan populer dari blog ini

medical prognosis of ADHD in a client can easily alter when that exact very same

The panel "disagreed along with Bondil's method towards

The accomplishment of mammalian transmissibility